Berkarya` dalam garis - warna - dan kata

Senin, 06 Juni 2016

Keputusan~



17 Januari 2014

Ada yang mendekat pelan.. Ada yang mengetuk perlahan..

Sebuah undangan… setitik embun pagi..
Aku.. menapakkan kaki lagi di tempat itu.. di tanah berpasir dan rumput yang menghijau..
Tak ada yang aku kenal di sini.. hanya wajah-wajah heran yang kembali menyapa..
Hanya senyum-senyum yang sedikit dipaksakan..
Aku yakinkan diriku.. aku datang dengan niat..
Satu jabatan.. satu kalimat.. “selamat bergabung di keluarga ini..”
Niat dan kesempatan yang tersimpul indah..

Aku menyambut dengan senyuman~

#Senja di Sekolah

Ada kelangangan.. di atas tanah yang nampak memerah..
Berbeda dari yang biasa.. mungkin karena waktu mulai beranjak menjemput senja..

Bukit-bukit yang menjulang di depan mata.. saksi bisu sejarah perubahan peradaban..
Apa yang sebenarnya sedang aku tunggu?
Ada.. ada yang sedang aku tunggu..

Dinding yang terasa dingin.. kerikil-kerikil yang terlihat tajam..
Mulai terbiasa namun tak pernah bosan..
Dasar peradaban bermula di tempat ini.. Sekolah..
Sekolah.. Bukan gedung dan ruang-ruang kosong ini..
Tapi detak-detak dan nafas-nafas yang terhembus  demi sebuah nur.. cahaya ilmu..

Lamunanku mulai terusik..
Langkah-langkah kaki mulai terdengar mendekat.. celoteh suara mulai terdengar perlahan..  Seulas senyuman tersimpul spontan.. penantian manis.. wajah-wajah anak bangsa..

“Beri aku ladang gersang.. maka akan kubawakan air untuk menumbuhkan tanda-tanda kehidupan..”

“Assalamu’alaikum ibu.. “
Ucapan yang lebih merdu dari musik apapun di dunia ini..
“Kalian datang.. tapi bukan untuk saya.. satu langkah kecil perubahan untuk masa depan kalian.. Terimakasih..”
“Datang.. maka kau akan membawa pulang apa yang kau cari di sini..”



Pada matahari.. kau mungkin bisa bersembunyi.. tapi pada senja.. persembunyianmu sirna..

Sabtu, 08 Maret 2014

Masih ada `Harapan`



13 Januari 2014

Sebuah niat yang sudah tertanam.. Aku ingin ‘mengabdi’ di bangku sekolah..

Menenteng tiga buah map berwarna hijau.. bertulisankan tangan tegak bersambung.. hitam di atas putih.. bukti sebuah niat telah tersemat..

Satu tujuan pertama.. sebuah tempat asing.. sebuah nama yang baru pertama terdengar..
Perjalanan mencari.. tigapuluh menit.. lumayan..
Mataku bergerilya.. Mencari tanda-tanda khas pintu masuk sebuah sekolah.. Sebuah gerbang sekolah..
Terlewati.. bukan gerbang.. bukan ukiran diatas pualam.. hanya papan kayu.. hijau dan usang.. tak ada gerbang.. tak ada pagar pembatas..

 “Ini..? yakin..?”, berkata pada diri sendiri.. Tapi nyatanya papan itu bertuliskan alamat yang kutuju..
Tiga buah gedung.. halaman dengan tanah berumput..
“Pasti ini.. toh di sana ada seragam khas sekolah tingkat atas.. Putih.. Abu-abu..”, mulai kembali bergumam dengan diriku sendiri..
Aku sudah sampai sejauh ini.. mempertaruhkan niat..
Memasuki halaman sekolah.. halaman sekolah yang belum pernah kulihat ada yang seperti ini.. diiringi pandangan heran dan tanda tanya dari puluhan pasang mata..
Aku sampai di bawah sebuah pohon kelapa.. yaaa.. pohon kelapa di halaman sekolah..
Bertanya, mencari ruang yang sekiranya pantas disebut sebagai ruang Kepala Sekolah..
Ahh yaa,, kembali aku tertegun.. aku sedang berada tepat dihadapannya.. berdiri di depan ruang Kepala Sekolah yang sekaligus adalah ruang guru-guru..
Kembali mendapatkan pandangan heran.. “Apa aku terlalu aneh..?”, pertanyaan mengudara dibenakku..
Entahlah.. aku sedang berusaha.. menyembunyikan keterkejutanku.. mencoba mengusir dengan senyuman sebisaku..

Bangku-bangku tua berbalur cat hitam.. sepetak ruang yang dihuni puluhan jiwa..
Jiwa-jiwa yang membuatku kagum nantinya..

Sambutan hangat dari Ibu kepala sekolah.. perbincangan seperlunya selama 15menit.. selesai dan berpamitan..

Perjalanan pulangku terasa gamang.. aku melihat,, apa yang belum pernah aku lihat.. ada rasa nyeri dalam dada.. ada beribu pertanyaan mengudara..
“Kenapa?”
Mencoba menikmati perjalanan pulang tigapuluh menit dengan jalan aspal yang berkelok-kelok.. sesekali menanjak dan turun..
Terlalu tertegun dengan pemandangan tadi.. dua map hijau urung kuantarkan ke alamat yang sudah tertulis di sana..
Ini di Jawa.. tahun 2014.. di Yogyakarta.. kota yang masih menyandang nama sebagai kota Pelajar.. Apa selama ini aku terlalu menutup mata?

Sebuah desa dipinggiran bantaran sungai Progo..

Ini terlalu gamang.. 
Tentang ada dan tidaknya harapan..
Tapi,, ada yang mendekat pelan.. Ada yang mengetuk perlahan..

Selasa, 19 November 2013

Sajak di bawah Hujan - Bagian 3 (Terakhir)



`Karena hujan seperti melantunkan sajak yang menyedihkan`
Masih dalam guyuran hujan, kalimat itu terus terngiang di telingaku, terus bergema di kepalaku. Hari demi hari.

Sajak di bawah Hujan~

Dingin. Harmoni.

Hanya itu yang aku tahu. Aku benar-benar tak bisa memahami kalimat lelaki tua itu. Ahhh,, bukan tak bisa, tapi hanya belum bisa. Mungkin jika usiaku sepadan dengannya, aku akan bisa memahami maksudnya.

Senin, 18 November 2013

Sajak di bawah Hujan - Bagian 2



Duduk berjam-jam. Sungguh membosankan. Udara makin terasa dingin, mungkin karena di luar hujan mengguyur sejak siang tadi. Hujan. Selalu saja terasa menyenangkan dan menyakitkan di waktu yang bersamaan.
Aku beranjak dari kursi kayu, mencari payung yang hampir dua tahun bahkan tak kusentuh. Tersimpan rapi, hanya saja sedikit berdebu tapi masih cukup baik aku rasa.
Sore ini kita akan berjalan-jalan sebentar, seperti dulu, kataku dalam hati. Aku ambil jaket, penutup kepala, dan sandal karet. Payung terbuka, kutengadahkan tangan menyapa hujan. Mari kita luangkan waktu bersama.
Gemericik hujan mulai terdengar berirama. Merdu sekali. Sore ini aku hanya ingin menikmati hujan. Berjalan di bawah hujan. Meskipun dingin dan basah tapi rasanya menyenangkan.
Langkahku sampai pada tempat itu. Tempat duduk seorang lelaki tua tempo hari yang lalu. Kosong. Perlahan mendekat dan duduk di sana. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali mengapung. Lelaki tua tempo hari, apa yang Ia tunggu di tempat ini?
“Kau sedang apa?” terperanjat kaget aku menoleh. Dari balik bahu, kudapati sosok yang tengah mengusik kepalaku.
“Apa yang kau lakukan di sini?”, tanya lelaki tua itu.
“Menikmati hujan” jawabku singkat.
“Apa kau tidak keberatan berbagi tempat duduk denganku?”,
“Tentu tidak. Silahkan”. Hening tanpa kata, hanya gemericik hujan.
Wajah lelaki tua itupun menggantungkan kedukaan yang sama dengan yang kulihat tempo lalu. Memberanikan diri, aku memulai percakapan.
“Apa yang Anda lakukan di sini? Anda tidak sedang mengkasihani saya karena duduk seorang diri dan bermaksud menemani saya kan?”, mencoba mencairkan suasana.
Lelaki tua itu tersenyum, tulus, memperlihatkan giginya yang tak lagi utuh.
“Sama sepertimu, aku ingin menikmati hujan di sini, di tempat ini”.
“Anda pasti sangat menyukai hujan”.
“Aku menyukai hujan, terlebih hujan yang turun di sore hari”.
“Kenapa? Kenapa kalau Anda menyukainya tetapi saya tidak melihat suka cita di wajah Anda?”, pertanyaan bodoh dan tidak sopan! Apa yang aku tanyakan. Bagaimana kalau aku menyinggung perasaannya.
“Karena hujan seperti melantunkan sajak yang menyedihkan” jawabnya singkat.
Aku tak lagi berani bertanya. Aku hanya mencoba mencerna kalimat-kalimat yang Ia lontarkan. Kembali kepada keheningan tanpa kata.